ETIKA DALAM BISNIS
INTERNASIONAL
Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup
dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia,
sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti
sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Gejala
globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak
globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara
bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional
sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir dalam suasan
konfrontasi dan permusuhan, kerna mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang
dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang di pertaruhkan di situ.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok
sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika
terutama tahun-tahun terakhir ini diber perhatian khusus kepada aspek-aspek
etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibaha beberapa masalah
moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Norma-Norma Moral yang
Umum Pada Taraf Internasional?
Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal
yang harus kita lakukan jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain
berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu:
1. Menyesuaikan
diri
Seperti peribahasa Indonesia: “Dimana bumi berpijak,
disana langit dijunjung”. Maksudnya adalah kalau sedang mengadakan kegiatan
ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di
tempat itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini mengandung relativisme
ekstrem.
2. Rigorisme
moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah
mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negeri sendiri. De George
mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan
norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam
pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku
moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat
tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
3. Imoralisme
naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional
tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Memang kita harus memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh
norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada
dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan-perusahaan
lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih
menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan:
“semua perusahaan melakukan hal itu”.
Masalah “Dumping”
Dalam Bisnis Internasional
Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah
produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga dibawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Yang akan merasa
keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para
produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Dumping
produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu motif adalah
bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan
untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah
berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga.
Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar
etika pasar bebas. Sebagaimana doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap
kurang etis karena merusak kompetisi yang fair, demikian juga praktek seperti
dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk bersaing pada taraf
yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut monopoli, dumping menjadi
kurang etis juga karena merugikan konsumen. Akan tetapi, tidak etis pula bila
suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping, padahal maksudnya hanya
melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa memproduksi
sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien atau
karena bisa menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara
lain. Misalnya jika negara berkembang sanggup memproduksi pakain jadi dengan
lebih murah karena biaya produksinya kurang dikarenakan upah karyawan yang
relatif kecil, hal itu tidak boleh dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila
menuduh dumping semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan saingan dari
pasar.
Melanjutkan perbandingan tadi, sebagaimana kita
memiliki metode-metode yang objektif dan pasti untuk membuktikan adanya
bpraktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga kita membutuhkan prosedur
yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita membutuhkan suatu instansi
supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang
objektif. Tetapi dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum
dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat
sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat
peraturan hukum di negara-negara anggotanya.
Aspek-Aspek Etis Dari
Korporasi Multinasional
Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah
perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi
perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian
belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahaan yang
memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Kita semua mengenal
KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM,
Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh
dunia dan menguasai nasib jutaan orang.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali
sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab
itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis
sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah mengambil
berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak mengijinkan
masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri.
Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di
wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan
warga negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional,
kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh
aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks ini. Tujuh norma
pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama
dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi
nuklir. Sepuluh aturan itu adalah:
1. Korporasi
Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung.
2. Korporasi
Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan
kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada
pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi
Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya.
5. Sejauh
kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi Multinasional
harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menentangnya.
6. Korporasi
Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
7. Korporasi
Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan
dan menegakkan “background institutions” yang tepat.
8. Jdhsa
9. Jika
suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam
mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi
Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.
Masalah Korupsi Pada
Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada
taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi
dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral besar bagi bisnis
internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak
mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat
empat alasan mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral.
§ Alasan
pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar.
Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi
pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan
mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu
mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan buah hasil dari
pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap, daya-daya pasar dilumpuhkan
dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan harga lebih menguntungkan,
tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena itu baik yang
memberi suap maupun yang menerimanya berlaku kurang fair terhadap orang bisnis
lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah pasar yang tidak efisien.
Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti semestinya.
§ Alasan
kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga. Dalam
sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan.
§ Alasan
ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan dalam
keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit
mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap. Pembagian barang langka
dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang
yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak menjadi tidak
kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan.
Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang
untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang
memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa
membukukan uang suap itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang
terlibat dalam kasus suap akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya
karena terpaksa terus-menerus harus menyembunyikan keterlibatannya.